Di dalam kamera kita ada komponen bernama shutter, yang peranannya sangat penting untuk mengatur terang gelapnya foto, dan juga bisa membuat benda yang bergerak jadi tampak beku atau sebaliknya jadi terlihat blur. Komponen shutter ini bentuknya seperti tirai yang menutupi sensor, disebut juga dengan focal plane shutter. Saat foto diambil, shutter akan dibuka untuk memasukkan cahaya ke sensor. Lamanya shutter membuka disebut dengan shutter speed yang bisa kita pilih mau cepat atau lambat, dalam hitungan detik atau seper detik. Begitulah cara kerja kamera sampai saat ini, termasuk kamera digital SLR yang banyak dipakai oleh fotografer dimanapun.

Electronic shutter

Dulu saya punya kamera Nikon D40 yang salah satu kehebatannya adalah maksimum flash sync speed-nya. Bila kamera lain umumnya membatasi shutter hanya sampai 1/200 detik saat pakai flash, maka kamera saya ini membolehkan saya memakai flash sampai kecepatan 1/500 detik. Apakah shutter unit di Nikon D40 ini begitu istimewa? Ternyata bukan begitu, rahasianya adalah D40 memakai kombinasi shutter mekanik dan elektronik. Jadi shutter mekanik di kamera D40 itu hanya akan bekerja sampai speed tertentu misal 1/90 detik, lalu bila kita memilih speed lebih cepat dari itu maka otomatis kamera akan memakai shutter elektronik yang mengatur sirkuit di dalam sensor untuk ‘on-off’ dalam kecepatan tertentu, hingga 1/4000 detik.
Mungkin kita pernah bertanya-tanya, mengapa harus ada shutter dalam bentuk mekanik yang harus membuka tutup setiap foto diambil? Bukankah di jaman canggih ini sensor bisa ditugaskan juga jadi elektronik shutter, seperti sensor di kamera saku atau kamera Nikon D40? Apalagi sistem shutter elektronik punya keuntungan yaitu tidak ada komponen yang bergerak dan artinya akan terus bisa dipakai selama sensor atau kamera itu masih hidup. Jawaban simpelnya adalah desain sensor keduanya sedikit ada perbedaan. Sensor DSLR dan kamera lain dengan shutter mekanik didesain untuk ‘perlu bantuan’ dari shutter mekanik dalam menentukan timing eksposur. Sedangkan sensor di kamera saku atau kamera ponsel memang didesain untuk bisa difungsikan juga sebagai shutter elektronik supaya ringkas dan murah.
Penjelasan lebih lanjutnya adalah, pada dasarnya kalau kamera DSLR mau pakai sistem shutter elektronik bisa saja, walau tentu sensornya harus didesain ulang. Masalahnya untuk bisa menjadi shutter elektronik, sebuah sensor harus punya komponen tambahan pada setiap pikselnya, dan ini berakibat kemampuan menangkap cahaya jadi berkurang. Imbas langsungnya ada pada kualitas akhir dari foto yang dihasilkan. Bagi kita pengguna DSLR, mungkin merasa adanya shutter mekanik seolah-olah rumit dan mengangap konsep shutter elektronik terkesan jauh lebih simpel. Tapi bagi produsen kamera DSLR, shutter mekanik adalah sebuah solusi yang lebih masuk akal, bila memakai shutter elektronik justru akan membuat rumit desain sensor DSLR dan akan ada penurunan kualitas hasil fotonya.

Ada juga kamera yang dibuat dengan desain shutter berjenis leaf shutter. Berbeda dengan focal plane shutter yang biasa kita kenal, leaf shutter ini buka tutupnya mirip bilah aperture lensa, dan memang leaf shutter ini secara fisik berada di lensa (bukan di kamera). Bisa dibilang inilah desain shutter yang paling klasik, ada sejak awal era fotografi jaman dulu, seperti kamera Yashica, Mamiya dan lainnya. Yang jelas leaf shutter saat ini tidak ditemukan di kamera DSLR, melainkan di kamera medium format. Setiap lensa medium format punya leaf shutter sendiri, jadi harga lensanya akan lebih mahal. Kalau dibandingkan dengan focal plane shutter, kekurangan leaf shutter itu tidak bisa mencapai kecepatan yang sangat tinggi seperti focal plane shutter, paling hanya bisa sampai 1/1000 detik. Tapi keuntungannya leaf shutter cenderung tidak berisik, dan satu keunggulan utama dia adalah bisa flash sync dengan berapapun kecepatan shutternya. Mengapa kemampuan flash sync begitu penting? Seperti yang sudah diulas di awal tulisan ini, saat siang hari tentunya kita akan lebih sering memakai shutter speed yang cepat, misal 1/500 detik. Bila kamera dengan focal plane shutter maksimal membatasi hanya boleh pakai 1/200 detik maka saat siang hari kita mau pakai flash, terpaksa memakai bukaan yang lebih kecil. Bukaan kecil sulit untuk mendapat bokeh dan akan melemahkan kekuatan flash juga. Dengan kamera berdesain leaf shutter, kita bisa pakai 1/500 detik, bukaan besar dan tenaga flash cukup yang rendah saja.

Ketika kita sedang browsing gambar di internet, seringkali kita melihat foto-foto dengan tanda watermark nama pemiliknya. Kitapun mahfum bahwa foto itu di’protect’ oleh pemiliknya.Dan tentunya dengan melihat tanda itu kita tidak akan berani menggunakannya sesuka hati kita. Saya juga sering melihat foto-foto beberapa teman blogger saya ditandai serupa. Duluya saya juga pengen meniru memberi tanda. Tapi karena saya tidak menemukan cara yang praktis untuk menamainya, maka saya urungkan niat saya.

Akhirnya saya selalu mengupload foto-foto hasil jepretan saya sendiri tanpa tanda nama.  Saya senang saja tulisan yang dilengkapi dengan gambar,walaupun tanpa nama.  Tidak apa-apa. Saya pikir toh saya tidak bermaksud membisniskan foto-foto jepretan saya. Tapi ternyata saya salah!

Beberapa saat yang lalu, iseng-iseng saya mencoba ikut bergabung menulis pada sebuah media online yang ternama. Tujuannya ya untuk memperluas pengalaman saya menulis. Bergaul dengan para penulis yang lebih panjang jam terbangnya dari berbagai kalangan, dari berbagai profesi hingga ke ‘real writer” macam penulis buku ataupun wartawan media serius. Seperti biasa sayapun menulis, lalu mencoba post di tempat itu. Horee..berhasil!. Lalu saya mulai mempost tulisan ke dua. Dan seterusnya.  Berikutnya saya mencoba me-reblog tulisan lama saya kembali. Karena tulisan berupa renungan, saya bubuhkan saja gambar bunga Lotus yang saya ambil dari file lama saya sendiri. Saya sangat menyukai bunga Lotus. Bagi saya Lotus adalah bunga yang melambangkan kesucian, keagungan dan kebijaksanaan. Jadi saya pikir,kalau tulisan itu berupa perenungan dan tidak mempunyai gambar, ya..bunga Lotus barangkali sesuailah sebagai penghiasnya. Nah ceritanya, saya postlah tulisan itu ke sana beserta gambar bunga Lotusnya.  Enter! Go!

Saya tunggu beberapa saat. Yes! Satu, dua, tiga, empat dan seterusnya para pembaca datang dengan cukup cepat untuk membaca tulisan saya itu. He he.. lumayan! Begitulah enaknya menulis di sana. Audience-nya banyak. Jadi tulisan kita mendapat pembaca dalam jumlah yang lebih banyak dalam waktu yang lebih cepat.  (Namun tentu saja saya tetap merasa rumah saya di blog ini. Karena disinilah saya merasa lahir dan dibesarkan sebagai blogger.)  Tidak berapa lama kemudian tiba-tiba saya melihat sebuah message masuk ke INBOX saya. Sayapun membukanya.

Oh! Dari admin pihak media online itu.Memberitahukan kepada saya, bahwa pihak media telah menghapus konten (audio, visual,grafis) hasil karya orang lain yang menurut media itu telah saya gunakan, karena tidak dilengkapi keterangan sumber (nama pemilik hak cipta/hak guna) yang jelas. Rupanya media itu telah menghapus foto bunga Lotus kesayangan saya. Aduuh..

Tentu saja saya terkejut bukan alang kepalang. Lho? Siapa yang menggunakan hak cipta milik orang lain? Bunga Lotus di foto itu adalah milik saya sendiri. Tumbuh di pot di halaman rumah saya sendiri. Saya tanam dan rawat sendiri sampai tumbuh besar dan berbunga.Lalu saya jepret sendiri. Dengan menggunakan kamera saya sendiri. Dan saya upload sendiri. Lah! Lah!. Hak saya dong untuk menggunakannya di manapun sesuka hati saya? Bagaimana bisa pihak media itu menyangka saya menggunakan hak cipta orang lain?

Pikir demi pikir, akhirnya saya ingat bahwa foto bunga Lotus itu pernah saya upload sebelumnya ke social media yang lain dan  jika kita Googling, akan muncul di sana sebagai salah satu  dari jutaan atau bahkan miliaran gambar dari Google. kalau orang search foto itu dan menemukannya, belum tentu dia ngeh kalau foto itu adalah hak cipta saya.

Yah pantes saja !. Akhirnya saya coba minta advise teman blogger yang sudah lebih senior dan memang sarannya adalah agar selalu memberi tanda pada setiap hasil karya kita. Sayapun memberi penjelasan kepada pihak media tersebut tentang fakta bahwa foto itu adalah dokumentasi pribadi saya.

Walaupun sampai saat ini saya masih belum membubuhi nama pada semuanya, tapi sekarang saya mengerti sepenuhnya. Mengapa kita perlu membubuhkan nama kita pada hasil karya kita sendiri, terutama yang akan diupload ke dunia maya.

Untuk memberi nama pada foto, dulu saya biasanya mengcopy foto ke Microsoft Power Point, memberi nama lalu saya save kembali dengan JPEG.  Agak tidak praktis sih.

Setelah ceklak ceklik pada file-file foto saya, sekarang saya sudah menemukan caranya untuk memberi nama. Saya share di sini, barangkali ada gunanya bagi teman-teman yang belum tahu. Walaupun saya tahu juga banyak diantara teman-teman yang tentunya sudah lebih dulu dan lebih jago memasang water mark.  Barangkali bisa ikut nimbrung sekalian share bagaimana caranya memasang water mark – terimakasih banget.

Caranya adalah sbb:
1. Click kanan foto/gambar dari file.
2.Pilih Edit pada Review,lalu akan muncul  Paint
3. Pada sheet home,lihat Tool. Lalu pilih A
4. Dengan menggunakan tool A, tulislah nama kita. Misalnya
“Dokumentasi pribadi – Andani”
5.Beri warna yang cukup kontrast  agar terbaca.
6.Lalu Save.
Selesai!

Jadi sekali lagi, untuk melindungi karya-karya kita, lengkapi konten audio, visual, grafis hasil karya pribadi yang ditempelkan di postingan dengan nama (atau identitas lain) kita sendiri.
Foto Pentas Tari UNY

Jalan Desa "Efek Bokeh"
 Contoh Potret dengan Bokeh



Copyright © 2012 ..